Hidup di rantau penuh dengan tantangan. Kebanyakan
mitos yang terdengar adalah kemampuan bahasa yang sangat
menentukan keberhasilan seseorang. Dengan perkataan lain,
apabila kemampuan bahasa seseorang di perantau kurang memadai, maka
kemungkinan besar seseorang tidak akan berhasil. Benarkah demikian?
Jawabannya: tidak benar.
Walaupun penting, kemampuan berbahasa dalam bahasa
setempat (seperti Bahasa Inggris di Amerika Serikat, Britania Raya dan
Australia) tentu akan menunjang keberhasilan dalam membukakan
pintu peluang, namun kemampuan mengartikulasikan pikiran dalam
bentuk komunikasi yang dapat diterima dalam kultur setempatlah yang
sebenarnya jauh lebih penting. Juga sikap kerja (attitude) yang
etislah yang sangat menentukan keberhasilan seseorang di tanah rantau.
Selama hampir sepuluh tahun di perantauan, tepatnya
di Amerika Serikat, saya telah merasakan sendiri dan melihat
dengan mata kepala dan mata hati sendiri bahwa bentuk komunikasi yang
paling mengena bukanlah dengan menggunakan grammar dan choices of
words yang sempurna, melainkan dengan kemampuan mengekspresikan
pikiran dan perasaan dengan cara yang seefisien mungkin dalam
bentuk komunikasi verbal dan non-verbal. Ini bisa dilihat dari
pendatang-pendatang baru yang kemampuan berbahasanya --walaupun
kedengaran cukup lancar di telinga perantauan saya-- masih kurang
sempurna di telinga penduduk setempat.
Ada beberapa sesama teman seperantauan yang sangat
cepat melesat karirnya. Sebaliknya ada pula yang totally stuck di
satu titik saja selama bertahun-tahun, bahkan masih sering nebeng
pula dengan teman-temannya yang unstuck. Lantas, sebenarnya apa yang
membedakan mereka? Bukankah mereka sama-sama dari Indonesia dan
(kebanyakan) mempunyai latar belakang kehidupan masa lalu yang
mirip pula?
Untuk mempermudah deskripsi saya di bawah, mari kita sebut saja
mereka yang cepat melesat karirnya sebagai si "Unstuck" dan mereka
yang jalan di tempat si "Stuck."
Si "Unstuck," biasanya mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang universal (selalu menjaga etika, banyak mendengarkan
dan percaya diri tanpa perlu menjatuhkan orang lain) attitude yang
berbeda
dibandingkan dengan si "Stuck." Bagi si Unstuck, tantangan adalah
sumber gairah dan energy yang sangat berharga. Dalam kata lain,
dengan kesulitan --termasuk kesulitan dalam berkomunikasi-- ia
menemukan makna hidup. Dengan demikian, ia membuka
pintu-pintu keberhasilan baginya di masa depan (di tingkat
"etheral," dalam bahasa New Age-nya).
Bagi si Stuck, tantangan adalah sesuatu yang ingin dihindarkan
setiap saat. Saya ingat betapa ada seorang teman yang selalu
mengeluh baik ketika tidak mendapatkan pekerjaan, sedang mencari
pekerjaan dan bahkan ketika sudah diterima kerja.
Keluhannya walaupun hanya untuk hal-hal kecil saja, namun bagi
si Unstuck, ini adalah salah satu bentuk "invitation" bagi kegagalan.
Coba saja bayangkan. Si Stuck ini sering mengeluh betapa "kejam"nya
bosnya di tempat kerja, maka ketika suatu hari kehadirannya di
tempat kerja sangat diperlukan, ia bilang, "Mereka lagi mau pindahan
kantor, mendingan gua tidak masuk kerja saja, supaya mereka tahu
rasa kekurangan orang." Wah, dengan mengeluh kepada si Unstuck,
sebenarnya si Stuck ini sudah membuka pintu kegagalan.
Maksudnya apa? Well, siapa sebenarnya yang mau mempekerjakan
seseorang yang tidak etis (tidak profesional)? Ingatlah bahwa "what
you say says a lot about you" (apa yang Anda katakan kepada orang
lain sebenarnya mencerminkan siapa Anda).
Kalau saja pihak yang mempekerjakan si Stuck ini sampai mendengar
perkataannya, bukankah pintu promosi sudah langsung tertutup
baginya? Belum lagi kalau si Unstuck temannya itu mempunyai potensi
untuk mempekerjakan si Stuck. Bukankah ini adalah promosi buruk (bad
personal branding) bagi si Stuck?
Ada lagi beberapa perbedaan antara si "Stuck" dan si "Unstuck".
Stuck: Senang meminta. Senang menerima yang gratis-gratis tanpa
merasa obligated untuk membalas budi.
Unstuck: Senang memberi. Tidak senang menerima barang-barang gratis
(ingat there is no free lunch, semuanya mesti dibayar baik sekarang
maupun nanti --bukankah lebih baik sekarang?).
Kalaupun diberi sesuatu, ia selalu membalas budi baik orang lain
dengan segera.
Stuck: Berpikir dengan perasaan dan merasa dengan pikiran. Sering
mengalami konflik antara pikiran dan perbuatan,sehingga apa yang
dikomunikasikan mempunyai "logical fallacy."
Unstuck: Berpikir dengan pikiran dan merasa dengan perasaan. Paralel
dan tidak ada konflik antara pikiran dan perbuatan.
Dalam istilah Ilmu Logika, perbuatan-perbuatannya adalah perbuatan
yang sahih.
Stuck: Mengikuti tren (misalnya senang mendengarkan pendapat orang
lain, menjadi "pengikut" pendapat orang lain).
Unstuck: Menciptakan tren (tidak memperdulikan omongan negatif orang
lain, sepanjang apa yang diincar adalah halal dan bisa membantu
orang banyak baik secara langsung maupun tidak langsung).
Stuck: Tidak berani menghadapi tantangan baru (lebih baik "stuck" di
satu tempat daripada mengubah diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan
baru yang akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik).
Unstuck: Senang menghadapi tantangan baru, bahkan selalu mencari-
carinya di setiap kesempatan.
Stuck: Senang memerangi masalah saat itu juga karena merasa egonya
tertantang.
Unstuck: Memilih masalah yang harus diperangi (choose your battle)
dan mana yang harus dilepaskan karena tidak worth it dari segi
spending tenaga dan pikiran.
Stuck: Sering menyalahkan orang lain (blaming) dan mengeluh
(whining). Bahkan ada orang selalu mengeluh sehingga ia tidak bisa
lagi melihat berkat (blessing) di depan matanya.
Unstuck: Tidak menyalahkan siapa-siapa. What already happened,
happened. Yang penting adalah solving the problem, bukan blaming dan
whining.
Stuck: Tidak pernah double checking pendapat orang lain. Dalam kata
lain, percaya saja kepada gosip secara penuh, tanpa mendengarkan
dari pihak lain yang terlibat.
Unstuck: Selalu double checking dan tidak langsung mempercayai gosip
atau isyu-isyu yang beredar.
Stuck: Lebih memusatkan kepada kemampuan berbahasa, bukan komunikasi
efisien dan kemampuan adaptasi kultural.
Unstuck: Memusatkan kepada kemampuan berkomunikasi efisien dan
adaptasi kultural, bukan yang dapat diukur oleh grammar dan mekanisa
bahasa.
Stuck: Biasanya tidak berani mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya
(ada unsur "merahasiakan" asal-usul dan beberapa hal lainnya yang
semestinya bukanlah rahasia).
Unstuck: Terbuka dan transparan dalam bertindak.
Berani untuk diaudit oleh siapapun karena kebenaran akan selalu
berada di pihaknya.
Oke, sekarang kalau Anda merantau, kira-kira yang mana Anda?
Sumber: Yang Mana Anda: si Stuck atau si Unstuck?
oleh Jennie S.
Bev. Jennie S. Bev adalah penulis perantauan yang
telah menerbitkan 15 buku dalam bentuk elektronik di Amerika Serikat.
Pada tahun 2003, ia dinobatkan sebagai EPPIE Award Finalist for
mitos yang terdengar adalah kemampuan bahasa yang sangat
menentukan keberhasilan seseorang. Dengan perkataan lain,
apabila kemampuan bahasa seseorang di perantau kurang memadai, maka
kemungkinan besar seseorang tidak akan berhasil. Benarkah demikian?
Jawabannya: tidak benar.
Walaupun penting, kemampuan berbahasa dalam bahasa
setempat (seperti Bahasa Inggris di Amerika Serikat, Britania Raya dan
Australia) tentu akan menunjang keberhasilan dalam membukakan
pintu peluang, namun kemampuan mengartikulasikan pikiran dalam
bentuk komunikasi yang dapat diterima dalam kultur setempatlah yang
sebenarnya jauh lebih penting. Juga sikap kerja (attitude) yang
etislah yang sangat menentukan keberhasilan seseorang di tanah rantau.
Selama hampir sepuluh tahun di perantauan, tepatnya
di Amerika Serikat, saya telah merasakan sendiri dan melihat
dengan mata kepala dan mata hati sendiri bahwa bentuk komunikasi yang
paling mengena bukanlah dengan menggunakan grammar dan choices of
words yang sempurna, melainkan dengan kemampuan mengekspresikan
pikiran dan perasaan dengan cara yang seefisien mungkin dalam
bentuk komunikasi verbal dan non-verbal. Ini bisa dilihat dari
pendatang-pendatang baru yang kemampuan berbahasanya --walaupun
kedengaran cukup lancar di telinga perantauan saya-- masih kurang
sempurna di telinga penduduk setempat.
Ada beberapa sesama teman seperantauan yang sangat
cepat melesat karirnya. Sebaliknya ada pula yang totally stuck di
satu titik saja selama bertahun-tahun, bahkan masih sering nebeng
pula dengan teman-temannya yang unstuck. Lantas, sebenarnya apa yang
membedakan mereka? Bukankah mereka sama-sama dari Indonesia dan
(kebanyakan) mempunyai latar belakang kehidupan masa lalu yang
mirip pula?
Untuk mempermudah deskripsi saya di bawah, mari kita sebut saja
mereka yang cepat melesat karirnya sebagai si "Unstuck" dan mereka
yang jalan di tempat si "Stuck."
Si "Unstuck," biasanya mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang universal (selalu menjaga etika, banyak mendengarkan
dan percaya diri tanpa perlu menjatuhkan orang lain) attitude yang
berbeda
dibandingkan dengan si "Stuck." Bagi si Unstuck, tantangan adalah
sumber gairah dan energy yang sangat berharga. Dalam kata lain,
dengan kesulitan --termasuk kesulitan dalam berkomunikasi-- ia
menemukan makna hidup. Dengan demikian, ia membuka
pintu-pintu keberhasilan baginya di masa depan (di tingkat
"etheral," dalam bahasa New Age-nya).
Bagi si Stuck, tantangan adalah sesuatu yang ingin dihindarkan
setiap saat. Saya ingat betapa ada seorang teman yang selalu
mengeluh baik ketika tidak mendapatkan pekerjaan, sedang mencari
pekerjaan dan bahkan ketika sudah diterima kerja.
Keluhannya walaupun hanya untuk hal-hal kecil saja, namun bagi
si Unstuck, ini adalah salah satu bentuk "invitation" bagi kegagalan.
Coba saja bayangkan. Si Stuck ini sering mengeluh betapa "kejam"nya
bosnya di tempat kerja, maka ketika suatu hari kehadirannya di
tempat kerja sangat diperlukan, ia bilang, "Mereka lagi mau pindahan
kantor, mendingan gua tidak masuk kerja saja, supaya mereka tahu
rasa kekurangan orang." Wah, dengan mengeluh kepada si Unstuck,
sebenarnya si Stuck ini sudah membuka pintu kegagalan.
Maksudnya apa? Well, siapa sebenarnya yang mau mempekerjakan
seseorang yang tidak etis (tidak profesional)? Ingatlah bahwa "what
you say says a lot about you" (apa yang Anda katakan kepada orang
lain sebenarnya mencerminkan siapa Anda).
Kalau saja pihak yang mempekerjakan si Stuck ini sampai mendengar
perkataannya, bukankah pintu promosi sudah langsung tertutup
baginya? Belum lagi kalau si Unstuck temannya itu mempunyai potensi
untuk mempekerjakan si Stuck. Bukankah ini adalah promosi buruk (bad
personal branding) bagi si Stuck?
Ada lagi beberapa perbedaan antara si "Stuck" dan si "Unstuck".
Stuck: Senang meminta. Senang menerima yang gratis-gratis tanpa
merasa obligated untuk membalas budi.
Unstuck: Senang memberi. Tidak senang menerima barang-barang gratis
(ingat there is no free lunch, semuanya mesti dibayar baik sekarang
maupun nanti --bukankah lebih baik sekarang?).
Kalaupun diberi sesuatu, ia selalu membalas budi baik orang lain
dengan segera.
Stuck: Berpikir dengan perasaan dan merasa dengan pikiran. Sering
mengalami konflik antara pikiran dan perbuatan,sehingga apa yang
dikomunikasikan mempunyai "logical fallacy."
Unstuck: Berpikir dengan pikiran dan merasa dengan perasaan. Paralel
dan tidak ada konflik antara pikiran dan perbuatan.
Dalam istilah Ilmu Logika, perbuatan-perbuatannya adalah perbuatan
yang sahih.
Stuck: Mengikuti tren (misalnya senang mendengarkan pendapat orang
lain, menjadi "pengikut" pendapat orang lain).
Unstuck: Menciptakan tren (tidak memperdulikan omongan negatif orang
lain, sepanjang apa yang diincar adalah halal dan bisa membantu
orang banyak baik secara langsung maupun tidak langsung).
Stuck: Tidak berani menghadapi tantangan baru (lebih baik "stuck" di
satu tempat daripada mengubah diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan
baru yang akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik).
Unstuck: Senang menghadapi tantangan baru, bahkan selalu mencari-
carinya di setiap kesempatan.
Stuck: Senang memerangi masalah saat itu juga karena merasa egonya
tertantang.
Unstuck: Memilih masalah yang harus diperangi (choose your battle)
dan mana yang harus dilepaskan karena tidak worth it dari segi
spending tenaga dan pikiran.
Stuck: Sering menyalahkan orang lain (blaming) dan mengeluh
(whining). Bahkan ada orang selalu mengeluh sehingga ia tidak bisa
lagi melihat berkat (blessing) di depan matanya.
Unstuck: Tidak menyalahkan siapa-siapa. What already happened,
happened. Yang penting adalah solving the problem, bukan blaming dan
whining.
Stuck: Tidak pernah double checking pendapat orang lain. Dalam kata
lain, percaya saja kepada gosip secara penuh, tanpa mendengarkan
dari pihak lain yang terlibat.
Unstuck: Selalu double checking dan tidak langsung mempercayai gosip
atau isyu-isyu yang beredar.
Stuck: Lebih memusatkan kepada kemampuan berbahasa, bukan komunikasi
efisien dan kemampuan adaptasi kultural.
Unstuck: Memusatkan kepada kemampuan berkomunikasi efisien dan
adaptasi kultural, bukan yang dapat diukur oleh grammar dan mekanisa
bahasa.
Stuck: Biasanya tidak berani mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya
(ada unsur "merahasiakan" asal-usul dan beberapa hal lainnya yang
semestinya bukanlah rahasia).
Unstuck: Terbuka dan transparan dalam bertindak.
Berani untuk diaudit oleh siapapun karena kebenaran akan selalu
berada di pihaknya.
Oke, sekarang kalau Anda merantau, kira-kira yang mana Anda?
Sumber: Yang Mana Anda: si Stuck atau si Unstuck?
oleh Jennie S.
Bev. Jennie S. Bev adalah penulis perantauan yang
telah menerbitkan 15 buku dalam bentuk elektronik di Amerika Serikat.
Pada tahun 2003, ia dinobatkan sebagai EPPIE Award Finalist for
excellence in electronic publishing.
No comments :
Post a Comment